Arah Media - Masyarakat di Indonesia sudah tidak asing dengan istilah keperawanan. Meski demikian, masih banyak mitos berkenaan dengan keperawanan yang berkembang di masyarakat. Tidak sedikit pula yang mengaitkannya dengan selaput dara, berpengaruh kepada bagian tubuh tertentu, maupun kesucian serta moralitas seorang perempuan.
Banyak masyarakat di Indonesia yang percaya jika selaput dara (hymen) sudah robek maka sudah tidak perawan lagi dan sudah melakukan hubungan badan. Merujuk pada pengertian selaput dara (hymen) yaitu lapisan selaput yang sangat tipis dan merentang di bagian bawah vagina perempuan. Dikarenakan selaput dara sangat tipis, maka rentan terhadap kerobekan.
Hal ini terjadi umumnya karena ada penetrasi, yaitu masuknya penis ke dalam vagina saat berhubungan seksual. Namun demikian, robeknya selaput dara bukan serta merta karena berhubungan seksual, melainkan bisa disebabkan hal-hal lain seperti, kecelakaan maupun pemasangan tampon yang salah.
Kondisi dan jenis selaput dara pada setiap perempuan pun berbeda-beda. Ada perempuan dengan selaput dara mudah robek, tetapi juga ada yang tak robek sama sekali meski sudah berhubungan seksual. Menurut Frank H. Netter MD merujuk pada penelitiannya yang termuat dalam buku The Human Sexuality, bentuk dari selaput dara ini terbagi menjadi 4 bentuk, yaitu:
1. Annular Hymen (selaput yang melingkari lubang vagina)
2. Septate Hymen (selaput yang memiliki bentuk ditandai dengan beberapa lubang terbuka)
3. Cibriform Hymen (ditandai dengan lubang yang terbuka, namun lebih kecil dan jumlahnya lebih banyak)
4. Introitus (bentuk selaput ini umumnya pada perempuan yang sudah aktif secara seksual, bisa saja lubang selaputnya membesar namun menyisakan jaringan selaput dara)
Di Indonesia sendiri masalah selaput dara dan keperawanan selalu dikaitkan dengan moralitas seorang perempuan. Tak jarang pada masyarakat patriarki, perempuan selalu diberi pemaknaan yang berkaitan dengan hal tersebut. Makna tersebut biasanya yang berdampak terhadap pelabelan, sikap diskriminatif, sampai pengucilan (eksklusi sosial) terhadap perempuan.
Permasalahan keperawanan yang beredar di masyarakat luas juga sering dikaitkan dengan pengaruh terhadap bagian tubuh tertentu, misal seperti pinggul yang melebar, payudara yang mengendur bahkan menganggap gaya berjalan yang berubah kalau sudah tidak perawan. Tentu bukan hanya itu, masih banyak mitos namun dianggap suatu kebenaran yang berkembang ditengah masyarakat. Budaya patriarki yang masih mengaitkan moralitas dengan keperawanan dan selaput dara sudah sebaiknya ditinggalkan.
Dari hal seperti ini sudah sepantasnya seks edukasi diterapkan sejak usia dini, tentu dengan cara dan materi penjelasan yang benar. Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam pemaparan materi tentang seks edukasi.(Zaldi)
Editor : Intan
Comentários