Arah Media - Rekognisi pendidikan perempuan, realitas umum yang acap kali dijumpai dengan memandang perempuan hanya sebelah mata. Pendidikan untuk perempuan tak diterapkan secara fundamental, hanyalah sebagai formalitas saja atau lebih parahnya, hak untuk menuntut ilmu itu tidak diberikan sama sekali. Supaya tunduk pada sistem dan semakin terkungkung dalam penindasan.
Kartini telah membuka pintu seluas-luasnya bagi pendidikan kaum wanita di Indonesia. Wanita kelahiran Jepara itu menuangkan pemikirannya dalam surat-surat yang terangkum dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Sebagai sebuah kritik pada realitas, bahwasanya perempuan juga perlu pendidikan.
Terobosan yang dilayangkan Kartini akan pentingnya arti pendidikan bagi perempuan, berhasil memberikan perubahan kaum wanita di Indonesia menuju pemikiran yang lebih maju. Bahwa semestinya perempuan juga memiliki peranan penting dalam lingkungan sosial mereka.
Bukan melulu sebagai rumah tangga, melainkan kebebasannya untuk meraih cita, menjadi siapapun yang ia inginkan. Bahkan, kini banyak ditemui dokter, dosen, dan hakim perempuan yang tak kalah luar biasa dengan lelaki.
Seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang perguruan tinggi perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki sebesar 3,12 persen poin. Fakta ini merupakan bukti kemajuan dalam pengurangan kesenjangan gender di bidang pendidikan.
Kendati demikian, tantangan baru justru datang dari kaum lelaki yang merasa minder dengan pencapaian perempuan. Pergolakan ini terjadi khususnya bagi mereka yang sudah kecemplung dalam kehidupan rumah tangga.
Lagi-lagi harus kembali pada persoalan patriatikal, tak jarang kondisi ini membuat para lelaki mengalami insecurity (perasaan tidak aman yang membuat seseorang merasa gelisah, takut, malu, hingga tidak percaya diri). Sistem sosial ini telah membentuk ego kaum lelaki untuk bisa lebih dari perempuan dalam bidang apapun salah satunya pendidikan, hanya demi memperoleh pengakuan.
Adapun begitu, banyak anggapan bahwa pria kurang menyukai wanita yang berpendidikan tinggi. Hal itu pun didukung dengan meme yang beredar di lini masa Instagram yang digambarkan seorang wanita berpendidikan tinggi membuat pria lari menjauhinya. Namun, benarkah pria merasa minder dan kurang menyukai wanita yang memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi darinya?
“Pria yang merasa seperti itu adalah seorang pria yang tidak memiliki rasa kepercayaan diri dan konsep diri yang baik. Sehingga pria yang bermasalah terhadap kenyamanan dirinya sangat mungkin merasa bermasalah apabila pasangannya itu memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari dirinya,” jelas psikolog, Ayoe Sutomo yang dikutip dari Wolipop.
Ayoe juga menambahkan, di luar sana banyak pasangan suami dan istri yang dapat hidup berdampingan meski berbeda jenjang pendidikan yang ditempuh. Bukan berarti pendidikan yang tinggi lantas sang istri tak menghargai suami. Pasalnya banyak faktor penentu lain seperti lingkungan sekitar dan karakteristik pribadi yang menyebabkan hubungan antara pria dan wanita tidak berjalan baik.
Sama halnya dengan Annisa, wanita lulusan S3 ini sempat takut kesulitan mencari pasangan. Semacam ada gap atau rasa minder yang dialami pria yang sedang mendekati dirinya. Namun, ia beruntung dipersunting Dika, suami yang terkesan bodo amat dengan budaya patriarki ini.
Annisa sudah berteman lama dengan Dika dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Kala itu Nisa, begitu panggilan akrabnya, tengah menyelesaikan studi S2 sementara suami sedang sibuk berkiprah menjadi pekerja sosial dengan title S1.
Beberapa bulan kemudian, Nisa meraih gelar master sementara pasangannya belum berkuliah lagi. “Dari dulu kan saya pengen S3, akhirnya saya memutuskan untuk minta izin suami. Saya ga menyangka respon dia ternyata sangat mendukung saya untuk S3. Dia juga lebih senang jika saya kemudian jadi dosen ketimbang jadi wirausaha,” jelas wanita yang sedang berbadan dua itu.
Nampaknya persoalan minder ini masih bisa diatasi dengan baik jika kaum pria mampu mengelola konsep dirinya dengan bijak pula. Sepanjang perjalanan rumah tangga, perempuan tidak sepatutnya merasa title pendidikan yang secara permukaan lebih tinggi ini menjadi legitimasi mereka untuk lebih wow ketimbang suami. Sebab, rumah tangga bukan soal mana yang lebih keren tapi bagaimana antar elemen mampu bekerjasama dan saling melengkapi. (Ilma)
Editor : Intan
Comments