Arah Media -- Rumah joglo dengan luas sekitar 6 x 7 meter yang menghadap ke pematang sawah di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul itu tampak sepi. Pukul setengah satu siang, Selasa, 17 November 2020 panas terik matahari menyengat tubuh. Beberapa tanaman yang berbaris rapi di teras joglo tampak mengering dan pucuknya pun mulai menguning. Terdengar seruan wanita dari dalam rumah memerintahkan menuju halaman belakang.
Nampak pekarangan yang tidak terlalu luas namun muat untuk diisi dua mobil Avanza, sedang sekelilingnya terdapat pendopo berbentuk letter L. Suasana pendopo tampak sejuk dengan hadirnya pohon mangga yang cukup besar. Di bawah pohon itulah Nurrohmat, pemilik Omah Kreatif Dongaji, tengah asik menggambar pola cap batik. Sementara lelaki di hadapannya sedang menggulung bungkus rokok bekas.
Nurrohmat, pengrajin batik yang sempat viral dengan motif virus corona itu memang selalu memanfaatkan limbah kertas untuk dijadikan cap. Tak heran di rak pendopo begitu banyak cap berjajar dengan berbagai model. Keunikan itulah yang juga membawa Nurrohmat mengelilingi Indonesia bahkan mancanegara untuk memenuhi beberapa undangan workshop.
Meski sudah melanglang buana ke beberapa negara di Asia, pria 43 tahun itu masih merasa gagal karena lingkungan terdekatnya justru tidak tertarik dengan batik. “Banyak pelatihan batik yang diadakan pemerintah, tapi tidak banyak dari mereka yang ingin belajar sungguh-sungguh. Kadang saya merasa keberatan ketika mengajar hanya sebatas 2-3 jam, seakan tidak optimal,” keluhnya.
Sejak 2014 yang lalu, Nurrohmat tidak hanya memproduksi batik, justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengajar beberapa komunitas. Sebagian ada yang belajar hanya untuk menggugurkan kewajiban, dan tak sedikit pula yang kini mulai memproduksi batik sendiri. Salah satunya adalah Frenky, santri dari Krapyak yang sudah bertahun-tahun belajar di Omah Kreatif Dongaji. Bahkan, kini ia mampu menjual harga lebih tinggi dari produksi Nurrohmat.
“Frenky ini memang kurang ajar, Tetapi jujur saja, saya merasa sangat puas saat punya kesempatan membagi ilmu yang saya punya. Lebih-lebih sekarang keuntungan yang ia dapat lebih besar dibanding saya. Bagaimana tidak apabila per kainnya mampu menembus harga 1 juta, kan luar biasa,” tutur pria berambut panjang tersebut.
Sepanjang pandemi ini, Nurrohmat bersyukur sebab dipertemukan dengan kawan lamanya yang kini menjadi Kyai. Awalnya Kyai tersebut hendak memesan sarung kepada Nurrohmat. Namun, berujung pada permintaan Nurrohmat untuk mengirimkan beberapa santri yang sekiranya memiliki ketertarikan untuk belajar membatik.
Tak semudah yang dibayangkan, hambatan justru datang dari istri Nurrohmat yang tak jarang melarangnya mengajar. Tidak lain karena masalah keuangan, sebab mengajar memang butuh modal yang tak sedikit. “Tetapi ya namanya pernikahan, ada saya dan istri yang sering berbeda pandangan, kita memiliki konsepnya masing-masing,” tambahnya.
Meski begitu, pria yang cukup keras kepala ini tetap melanjutkan misinya untuk mengajar santri. Sudah sekitar satu bulan lebih, Toil dan Ibnu, santri yang direkomendasikan temannya kemarin melakukan karantina di Omah Kreatif Dongaji. Setiap pagi mereka datang untuk belajar membatik dan saat menjelang sore mereka kembali ke pesantren. Di sela-sela belajar membatik, mereka juga tetap mengikuti perkuliahan secara daring.
“Kita belajar nya learning by doing saja, kadang mereka melihat saya mengecap kemudian saya memintanya untuk mencoba. Begitu saja seterusnya,” ungkap Nurrohmat.
Tak jarang banyak kain yang terbuang karena terlalu lama saat menempelkan cap pada kain. Dulu Ibnu dan Toil merasa malu dan bersalah, namun Nurrohmat bersikap bodo amat dan terus mendorong mereka untuk berkarya. Kini Toil sudah menciptakan 20-30 cap batik dari limbah kertas. Sementara Ibnu menghasilkan 15 kain batik yang sudah didistribusikan.
Belajar membatik memang bukan perkara yang mudah, setiap proses yang dilaluinya perlu keuletan dan juga kesabaran. Tapi bagi mereka yang memiliki keseriusan pada hal itu justru akan menghadirkan kenikmatan. Sama halnya Nurrohmat sejak dua tahun belakang lebih sering mengajar orang-orang disekitarnya. “Kerinduan membuat karya atas diri sendiri itu ada, dan saya harap santri-santri ini juga kelak merasakan hal yang sama,” pungkasnya.(Ilma)
Editor : Intan
Comentarios