top of page
Writer's picturemedia arah

Mengaktualisasikan Kembali Gerakan Pembauran Melalui Lembaga Pendidikan


Sumber : muslimobsession.com | Grafis : Cescadeva

Arah Media - Indonesia adalah negara yang multikultural dan multi etnis, akan tetapi golongan keturunan yang paling sulit kedudukannya dalam masyarakat Indonesia adalah masyarakat etnis Tionghoa. Hal tersebut karena, antara lain, etnis Tionghoa memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia, dan khususnya mempunyai keyakinan keagamaan yang lain sama sekali dari masyarakat yang terdapat di Indonesia (Suparlan, 1978).

Banyak usaha-usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan antara warga negara Indonesia asli (pribumi) dengan warga negara Indonesia keturunan asing (non-pribumi) yang dalam hal ini etnis Tionghoa. Namun dalam praktiknya, interaksi sosial etnis Tionghoa dengan orang pribumi pada dasarnya kurang harmonis. Hal ini pada umumnya disebabkan faktor stereotipe (prasangka) yang kurang baik terhadap kelompok etnis Tionghoa.

Di beberapa daerah dimana terdapat etnis Tionghoa dan pribumi hidup dalam satu wilayah, pada umumnya diakui bahwa hubungan sosial diantara mereka kurang harmonis, sehingga masih terbentuk sejumlah stereotipe yang kuat tentang etnis Tionghoa di Indonesia. Sebaliknya, etnis Tionghoa pun mempunyai stereotipe tertentu tentang orang pribumi meskipun jarang dilontarkan secara terbuka. Orang selalu beranggapan bahwa karakteristik atau perilaku tiap individu berlaku sama dalam satu kelompok primordial. Oleh karena itu, permasalahan kecil pada tingkat individu dapat meluas pada tingkat kelompok etnis sehingga akibatnya dapat menjadi masalah suku, agama dan ras (SARA).

Stereotipe biasanya terbentuk atas dasar kejadian yang sudah ada sebelumnya, kemudian diperkuat oleh pengamatan pribadi secara sepintas yang biasanya berkonotasi negatif. Pengamatan ini hanya melihat dari sisi luarnya saja tanpa mengetahui latar belakang sikap dan perilaku yang membentuknya sehingga stereotipe bisa menumbuhkan fanatisme dan kecurigaan yang akhirnya akan menyebabkan masing-masing kelompok menutup diri dan malah memperkuat stereotipe tersebut. Sifat tertutup seperti ini tentu menghambat komunikasi yang sangat diperlukan dalam proses pembauran antar etnis, sebab komunikasi merupakan salah satu syarat mutlak untuk terjadinya interaksi sosial yang harmonis, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan rasa saling menghormati antar etnis Tionghoa dengan pribumi.

Setiap kelompok etnis biasanya mempunyai pandangan atau penilaian terhadap orang lain di luar kelompok etnisnya. Stereotipe (prasangka) dipunyai oleh masing-masing etnis mengenai golongan etnis lainnya yang ada di wilayah tempat iya menetap. Walaupun warga masing-masing etnis itu mempunyai stereotipe mengenai etnis lainnya, tetapi hubungan kerja sama dan hubungan sosial etnis yang berbeda tetap berlangsung.

Stereotipe (prasangka) tersebut sebenarnya dapat berkurang apabila batas-batas sosial yng menghambat terwujudnya hubungan baik apabila ada suatu arena interaksi yang dapat mengakomodasi sikap-sikap yang tidak bersahabat. Salah satu arena interaksi yang paling memungkinkan adalah lembaga pendidikan. Saat ini, di Indonesia, sudah banyak lembaga pendidikan formal maupun nonformal, dari tingkat PG/TK hingga SMA yang berupaya mendukung upaya pembauran.

Mengutip pendapat Ravik Karsidi, Guru Besar Sosiologi Pendidikan dari FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, menyebutkan bahwa sekolah memiliki beberapa fungsi, antara lain, mempersiapkan seseorang untuk mendapat suatu pekerjaan, alat transmisi kebudayaan, mengajarkan peranan sosial, menyediakan tenaga pembangunan, membuka kesempatan memperbaiki nasib, melakukan pengendalian sosial, dan menciptakan integrasi sosial. Melalui fungsi penciptaan integrasi sosial inilah, sekolah dapat mendukung pembauran melalui proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.

Dalam pelaksanaan proses pembelajaran, misalnya, dilakukan dengan melibatkan semua golongan etnis. Perekrutan staf pengajar dilakukan tanpa membeda-bedakan etnis. Jika mereka direkrut tanpa dibeda-bedakan, maka mereka juga diyakini takkan memiliki sikap diskriminatif terhadap golongan etnis tertentu.

Berdasarkan aturan universalisme, di sekolah, setiap siswa mendapat perlakuan yang sama. Siswa dari etnis Tionghoa dan pribumi ditempatkan secara merata dalam kelas yang sama, sehingga tercipta pola interaksi yang baik. Memungkinkan adanya kesempatan saling bertemu sebagai individu, sehingga menciptakan pola baru keterbukaan dan pertemanan antar individu dengan bermacam latar belakang etnis.

Konflik pasti akan selalu ada, namun konflik sendiri tak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan dapat berdampak positif bagi mereka yang terlibat. Yang terpenting dilakukan dalam mengatasi konflik, adalah mencari sumber masalahnya untuk kemudian memecahkan masalah tersebut bersama. Jika menghadapi konflik, yang pertama kali harus dilakukan adalah identifikasi sumber penyebab konflik, dan memilih strategi yang tepat dan tidak merugikan siapapun untuk mengatasi konflik tersebut sehingga bisa mengubah konflik menjadi kerja sama yang harmonis.

Tujuan akhir yang ingin dicapai sesungguhnya adalah menimbulkan dan memupuk kesamaan nilai, sikap hidup dan perilaku sehingga tercapai persatuan dan kesatuan bangsa, senasib, seperjuangan, sebangsa, setanah air, serta mempunyai tekad bersama mencapai cita-cita bangsa dan negara Indonesia berdasarkan falsafah negara Pancasila.


10 views0 comments

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page