Arah Media - Berawal dari patah hati karena kegagalannya mempertahankan hubungan dengan cinta pertamanya, Fatih Hadiwarsa justru tersesat ke belantara dunia fotografi. Tak hanya sebagai pengabdi memori, namun dalam setiap bidikannya merupakan proses yang berarti bagi pria asal Yogyakarta tersebut.
Semenjak lulus dari pesantren sekolah menengah pertama sekaligus cucu pertama yang berhasil menamatkan pendidikannya, alhasil Fatih diberi hadiah kamera oleh sang nenek. Kendati demikian, keberhasilannya lulus dari pondok tak sejalan dengan hubungan yang ia jalani bersama adik kelasnya. Bukan hanya meninggalkan diri dari pondok pesantren, melainkan juga kenangan-kenangan bersama pacar pertamanya.
Menginjak bangku SMA, sambil sesekali mengikis harapan yang lalu dan seiring bertemu dengan ha-hal baru yang justru menjadi awalan untuk mengenal dunia fotografi, patah hatinya memotivasi Fatih untuk kembali merasakan jatuh hati. Bukan pada sosok perempuan yang cantik dan manis, melainkan kamera DSLR pertamanya. “Waktu itu yang kepikiran di benakku, aku putus dengan dia berarti aku harus bisa buktiin kalo aku hebat, aku mulai mengeksplor hal baru, aku mulai ngutak-ngatik kamera,” jelasnya.
Pria kelahiran 1999 itu menuturkan, awalnya ia hanya iseng mengunggah foto-foto di Instagram pribadinya. Setiap minggu menjadi rutinitas tersendiri baginya untuk hunting foto, mengedit lalu memamerkan kepada khalayak Instagram. Tak hanya menuai pujian di kalangan pengikutnya, beberapa kali hasil bidikannya sempat di-repost oleh akun-akun fotografi. Sejak saat itulah, ia terpacu untuk mencoba hal baru yang lebih menantang.
Beberapa lomba fotografi tingkat sekolah menengah atas ia ikuti dan tak jarang meraih kemenangan. Fatih sangat menikmati pencapaian prestasinya, pasalnya tak ada yang menyangka, dirinya bisa melaju sejauh ini. Tiga kali mengunjungi Ibu Kota untuk menerima penghargaan dan beberapa kali namanya kerap dipanggil setiap upacara bendera di lapangan sekolah.
Bahkan tak hanya guru-guru Madrasah Aliyah Negeri 1 Yogyakarta saja yang mengenalnya tapi guru SMA lain, pasca kemenangannya dimuat di salah satu koran. Selain mengharumkan nama sekolah, hal itu juga membuat keluarganya bangga. “Paling berkesan ketika aku menang lomba dan hadiahnya itu pergi liburan ke Lombok. Aku ke beberapa desa di sana mengenal budaya mereka dan sekaligus nyetok foto juga, sih, buat lomba,” serunya sambil tertawa.
Seperti kata pepatah, roda kehidupan akan terus berputar, begitu juga dengan Fatih, perjalanannya pun tak selalu mulus. Selepas diterima menjadi mahasiswa baru di Universitas Sebelas Maret melalui jalur SNMPTN, ia pindah ke Solo dan kembali memulai fase baru. Beberapa kali menghadapi kekalahan lomba karena lawannya yang sudah memiliki jam terbang tinggi, tak seperti dulu saat lomba di tingkat SMA/sederajat.
Ia juga sempat mengeluh kesusahan untuk mengembangkan potensi fotografinya di Solo, tak banyak peluang dan wadah baginya untuk menyalurkan hobinya itu, tidak seperti saat di kota kelahirannya. “Aku sempet kepikiran buat pindah ke Jogja, daftar PTN di sana, karena aku ngerasa di Solo nih ga ada apa-apa, sedangkan kalo di Jogja banyak event-event yang bisa aku ikutin,” keluhnya.
Bukan melulu soal proses meningkatkan kualitas di bidang fotografi, namun, terselip banyak pelajaran hidup. Ketika masalah yang sedang dihadapi justru menjadi jalan pendewasaan dalam hidupnya. Ia mulai menyadari bahwa dirinya belum bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Sebab, yang salah bukan lingkungan di sekitarnya, justru persoalan itu datang pada dirinya sendiri. Peluang pasti akan selalu ada, namun bagaimana cara kita menyikapinya.
Sejak saat itulah, menjadi titik balik bagi Fatih untuk mulai menjejak karier di jalur komersial. Tak lagi bergantung mengikuti lomba-lomba, namun menggantungkan diri pada harapan, usaha, dan kesempatan yang ada. “Awalnya aku bantuin temen moto wisudaan, terus juga ngikut wedding atau prewed gitu, lama-lama aku tertarik buat bikin usaha seperti ini. Dari situ aku otodidak juga buat belajar marketing, tanya-tanya ke beberapa temen dan sempetin baca beberapa buku soal usaha wedding juga,” terangnya.
Di samping kesibukannya kuliah, delapan bulan berlalu begitu cepat, menghabiskan waktu untuk menyiapkan kebutuhan usaha fotografi pernikahan. Bolak-balik Yogyakarta dan Solo, bertanya sana-sini dengan orang yang sudah berpengalaman, gonta-ganti desain untuk logo, dan banyak kesibukannya lainnya. Sementara itu, ia juga mulai menyisihkan uang sakunya untuk membeli alat-alat yang dapat menunjang usaha rintisannya kelak. “Ya walaupun secara finansial masih dibantu sama orang tua lah sedikit-sedikit,” tambahnya.
Berkat keuletan dan tekad yang kuat, akhirnya apa yang dicita-citakan pun terwujud. Restu Ibu, jasa fotografi pernikahan dan juga wisuda, usaha rintisan miliknya. Di balik kesuksesannya, ia mencatat sepuluh orang yang membantu usaha rintisannya tersebut di kala masih sepi client. Ia berharap suatu saat bisa membalas kebaikan mereka sekaligus menjadi pacuan untuk terus mengembangkan Restu Ibu ini.(Ilma)
Editor : Intan
Komentarze