Arah Media - Stigma negatif mengenai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) masih tersimpan di benak masyarakat hingga saat ini. Pandangan tentang anak disabilitas yang identik dengan lemah dan tak berdaya masih diyakini masyarakat. Memang betul adanya, jika mereka selalu membutuhkan bantuan orang lain, namun bukan berarti tak berdaya dan bisa diperlakukan semena-mena. Mengingat kondisi mereka yang kurang mampu berkomunikasi dengan baik dan benar, ABK justru menjadi sasaran empuk pelampiasan hasrat seksual bagi orang-orang di sekitarnya.
Dilansir dari lokadata, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat antara periode 2016 hingga 2019. Pada 2019, ditemukan sebanyak 350 perkara dan jumlah ini meningkat 70 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kekerasan seksual yang menimpa anak pada 2016 mencapai 25 kasus, 81 kasus di tahun 2017, 350 kasus di tahun 2018 dan meningkat tajam pada 2019 dengan adanya 205 kasus perkara.
Sementara menurut Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) yang dikutip dari Gatra.com, menunjukkan adanya 126 laporan kekerasan seksual para penyandang disabilitas. Dari 126 kasus tersebut, CIQAL juga menyebutkan jika angka terbesar dialami oleh perempuan dengan disabilitas mental. Kemudian, disusul oleh penyandang disabilitas tuli.
Sebagai kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan seksual, maka dari itu, pentingnya membangun skema perlindungan bagi mereka melalui peran orang tua. Sama halnya dengan anak-anak pada umumnya, ABK juga memiliki hak seksual dan reproduksi. Hanya saja, konstruksi sosial yang berkembang di masyarakat justru berkebalikan sehingga kasus kekerasan seksual terhadap mereka tak terhindarkan.
Oleh sebab itu, penting bagi orang tua ABK untuk mempelajari bagaimana cara mengajari hal yang masih dianggap tabu ini kepada anak. Berikut cara-cara tepat kenalkan pendidikan seks pada ABK yang sudah kami rangkum dari Webinar yang dilakukan oleh Dokter Tanpa Stigma:
1. Lakukan Penilaian Pada Anak
Sebagai orang tua yang menjalani hari-hari bersama sang buah hati, sudah seyogyanya mengetahui betul tumbuh dan kembang anak. Coba cari tahu sampai mana tahap perkembangan kognitif anak, misalnya dengan menguji ingatan anak, mengajak memahami suatu objek di sekitar mereka, dan memahami seberapa lancar komunikasi mereka kepada orang lain. Selain itu, mengetahui perkembangan psikoseksual pada anak juga tidak kalah penting, ayah dan ibu bisa mulai mencari tahu sampai fase mana perkembangan psikoseksual mereka. Perkembangan tersebut meliputi lima fase yakni oral (0-2 tahun), anal (2-3 tahun), falik (3-4 tahun), latent (6-12 tahun), dan genital 12 tahun keatas.
2. Terima Anak Apa Adanya
Demi mewujudkan kebahagiaan sang anak, ayah dan ibu sebaiknya menanamkan sikap optimis dalam diri masing-masing. Menumbuhkan rasa percaya kepada anak bahwa mereka adalah sosok yang hebat yang mampu mengerti setelah kita ajari. Tidak perlu mengkhawatirkan orang-orang di sekitar kita yang tak jarang masih menyudutkan penyandang disabilitas. Ayah dan ibu hanya perlu fokus pada kekuatan diri untuk memenuhi kebutuhan anak secara maksimal, termasuk kebutuhan hak memperoleh pendidikan seksual.
3. Menjadi Model Regulasi dan Perilaku Seksual yang Sehat
Ayah dan ibu juga perlu menelaah diri bagaimana pandangan terhadap seksualitas, agama, dan emotional state. Pastikan jika nilai-nilai tersebut sesuai dengan yang berlaku di masyarakat. Setelah itu, ayah dan ibu bisa mulai membangun bonding yang kuat dengan anak terkait hal-hal seksualitas jauh sebelum masa remaja. Dokter Martha Sonya dalam Webinar tersebut menuturkan, tak masalah mengajari pendidikan seks sejak dini asalkan bahan yang diajarkan itu benar dan juga disesuaikan dengan norma di masyarakat.
4. Buat Program Belajar Sesuai Kemampuan Anak
Penentuan media belajar menjadi penting, ayah dan ibu bisa memulai dengan benda-benda konkrit. Bila anak sudah bisa menggambar atau menulis, kedua hal tersebut bisa dijadikan alat untuk program belajar seks. Ataupun kalau tidak, bisa disesuaikan dengan tahapan belajar anak. Ayah dan ibu juga tidak perlu secara teoritis mengajari anak, cukup dengan hal-hal disekitar lingkungan anak saja. Misalnya mengenalkan pada anak perihal logo perempuan dan laki-laki di pintu toilet mall.
5. Bangun Support System
Ayah dan ibu jangan merasa terbebani dan menanggung semuanya sendiri, coba lakukan pembagian tugas antara ayah dan ibu. Tentukan siapa yang bagian mendidik sekaligus diskusikan nilai-nilai seperti apa yang hendak diajarkan kepada anak sehingga tidak ada kesalahpahaman. Selain itu ayah dan ibu juga bisa melibatkan siapapun yang sekiranya mau membantu, misalnya seperti sanak saudara.(Ilma)
Editor : Intan
Comentarios