Arah Media – Berti Soli Dima Malingara merupakan sosok perempuan timur yang mengabdikan dirinya untuk membantu para penyandang disabilitas. Saat para penyandang disabilitas sering dipandang sebelah mata, bagi Berti mereka adalah orang-orang yang luar biasa tangguh.
Segera setelah menamatkan kuliahnya, Berti bekerja sebagai seorang volunteer di LSM Increase Kota Kupang. Dia menjadi guru les bagi anak-anak Sekolah Dasar di sekitar kantor LSM, dan bertugas pada program kesehatan ibu dan anak di desa-desa sekitar. Selama bekerja di LSM inilah, Berti sering menjumpai balita, anak-anak, remaja dan lansia difabel.
Menurut Kabid Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial NTT, Etha Nduru penyandang disabilitas Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2020 ini kira-kira mencapai 8.081 orang. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Timur hingga kini belum mengantongi data riil para penyandang disabilitas di NTT.
“Belum semua orang peduli baik para difabel sendiri, keluarga mereka dan pemerintah. Difabel tidak terdata dengan baik, hak-hak mereka sering terabaikan. Mereka sendiri kadang tidak tahu hak mereka,” ujar Berti ketika dihubungi lewat WhatsApp pada Rabu (18/11).
Berawal dari keprihatinan dan rasa ingin menolong, Berti kemudian semakin mencari tahu, mulai dari mendata difabel di desa, kunjungan rumah, serta membantu mereka mendapatkan fasilitas kesehatan maupun tempat terapi. Perempuan kelahiran 4 Mei 1986 ini, kemudian semakin menyadari banyak hak-hak kaum disabilitas yang sampai saat ini belum terpenuhi dengan baik. Salah satu yang disorotnya adalah pendidikan bagi kaum difabel.
Berti mengatakan bahwa pendidikan di NTT belum bisa sepenuhnya memfasilitasi kaum disabilitas. Sementara Sekolah Luar Biasa (SLB) hanya ada di kota-kota besar. Berti sendiri mengaku lebih mendukung sekolah inklusif daripada SLB. Menurutnya SLB justru memisahkan dan membatasi ruang anak-anak difabel untuk berinteraksi dengan masyarakat dan dengan teman sebaya mereka.
Tidak hanya di jenjang pendidikan bawah, fasilitas Kampus inklusif bagi kaum disabilitas pun masih belum ada di NTT. Hal ini semakin mendorong Berti untuk berani membuka Unit Layanan Disabilitas untuk perguruan tinggi pertama di NTT. Unit layanan ini dibuka di Kampus Akademi Pekerjaan Sosial Kupang.
Unit pelayanan ini membuka berbagai layanan seperti konseling, kelas bahasa isyarat, kelas menulis braille dan sebagainya, dimana sangat membantu kaum disabilitas yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berti pun berharap agar ini bisa menjadi contoh bagi kampus-kampus lainnya di NTT.
Selain membuka unit pelayanan di kampus, wanita 34 tahun ini juga membentuk sebuah organisasi bagi kaum difabel. Bersama 5 orang penyandang disabilitas, dia mendirikan Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN) NTT. Organisasi ini bergerak dalam usaha pemenuhan hak-hak difabel di NTT.
“Kaum disabilitas masih dipandang sebagai warga kelas dua dan hanya menjadi objek pembangunan. Mereka masih banyak mendapat stigma negatif, dan masih banyak yang menyebut mereka dengan kata "cacat". Kebanyakan orang membantu karena kasihan bukan membantu difabel untuk bisa jadi orang mandiri yang bisa berkontribusi buat masyarakat juga,” ujar lulusan Ekonomi Manajemen UPN ‘Veteran’ Jawa Timur ini.
Baginya kaum difabel bukanlah orang-orang lemah yang harus selalu ditopang. Sebaliknya mereka adalah orang-orang yang luar biasa dalam keterbatasannya. (Intan)
Editor : Akhsan
Comentários