top of page
  • Writer's picturemedia arah

Problematika PR, Penting Tidak Penting?


Sumber : dictio.id ; kompas.com | Grafis : Dhanty

Arah Media - Practice make perfect" sebuah pepatah lama yang selalu menjadi pegangan banyak orang. Pepatah yang mengajarkan kita untuk terus berlatih dan mengasah kemampuan ini, seringkali digunakan saat kita diberikan tugas atau pekerjaan rumah (PR) dari sekolah.


Pemberian PR sering dimaksudkan untuk melatih kemampuan siswa, mengulas kembali pelajaran yang telah diberikan, dan kadang untuk memastikan anak tetap belajar walau di rumah. Beberapa PR bahkan diberikan untuk lebih mengasah kreatifitas dan keterampilan.


Namun seperti halnya pisau, PR atau tugas dari sekolah kadang tidak selalu memenuhi tujuan awalnya. Alih-alih membuat anak semakin rajin dalam belajar, justru membuat anak menjadi stress. Untuk beberapa anak, daripada mengasah kreatifitas dan eksplorasi, PR justru hanya menjadi pemenuhan tugas semata. Akibatnya PR hanya dikerjakan seadanya, atau bahkan mengcopy paste saja.


Lantas, efektifkah sistem penugasan atau PR di sekolah? Sampai saat ini pun hal ini masih terus menjadi perdebatan.


Homework is all pain and no gain,” pekerjaan rumah hanyalah penderitaan dan tidak ada keuntungannya. Begitulah perkataan yang dilontarkan penulis Alfie Kohn. Dalam bukunya The Homework Myth, Kohn menunjukan bahwa tidak ada studi yang menemukan korelasi antara PR dan pencapaian akademik di sekolah dasar, dan juga tidak ada alasan untuk membenarkan penerapannya di sekolah menengah atas. Dia juga mengatakan, kenyataannya PR malah mengurangi minat dalam belajar.


Firstda Kega, seorang mahasiswa kedokteran Universitas Nusa Cendana (Undana) NTT, menganggap PR bukanlah suatu hal yang penting dan tidak efektif. “Selama saya sekolah, dari dulu menurut saya PR tidak begitu penting. PR ada agar kita berlatih lebih banyak di rumah kan? Nah kalo saya sendiri, asalkan punya motivasi untuk belajar sendiri, PR tidak lagi penting.”


Firstda melanjutkan, sedang untuk anak-anak yang bisa dikatakan ‘kurang memiliki motivasi’, justru PR membuat mereka semakin susah berkembang. Menurutnya mereka akan cenderung mencari jalan pintasnya sendiri, biarpun dengan melakukan kecurangan.


Kino School, sebuah sekolah swasta di Tuscon Arizona, telah menerapkan kebijakan ‘no-homework’ atau tidak ada pekerjaan rumah. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memastikan pembelajaran berjalan menyenangkan bagi siswa, dan bukannya menjadi pekerjaan yang menghalangi waktu bersosialisasi dan kegiatan kreatif lainnya.


Di Indonesia sendiri, pada 2018 lalu Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Blitar, Jawa Timur sempat mengirimkan surat edaran yang melarang semua sekolah di lingkup Kota Blitar memberikan PR kepada siswanya. Tujuannya agar memberikan lebih banyak waktu bagi siswa untuk bersosialisasi dan mengerjakan hal positif lainnya di luar sekolah.


Dilansir dari Kompas.com, menanggapi kebijakan Disdik Kota Blitar, Psikolog pendidikan Bondhan Kresna Wijaya, M.Psi, mengatakan, penerapan kebijakan ini harus memperhatikan sejumlah hal. Misalnya dilihat kualitas gurunya. Kualitas guru yang selama ini hanya bersandar pada sertifikasi menurutnya tidak cukup untuk diterapkan kebijakan tersebut. Ia juga mengatakan, kebijakan meniadakan PR untuk memberikan anak waktu bersosialisasi di lingkungan rumah juga patut dipertanyakan karena tak sedikit anak-anak yang punya interaksi tinggi dengan gadget.


Meski masih selalu ada penolakan terhadap pemberian PR bagi siswa, nyatanya sampai sekarang pun PR masih terus diterapkan di berbagai sekolah. Banyak pandangan yang mendukung PR, mengatakan bahwa hidup ini dipenuhi hal-hal yang tidak kita sukai, dan PR yang merupakan salah satunya juga mengajarkan kita untuk disiplin, mengatur waktu, dan kemampuan lainnya.


Berbeda dengan Firstda, Vita Marapati mahasiswa Pertanian Undana justru menganggap PR sebagai suatu hal yang penting. “Kalo tidak ada PR, mungkin saya tidak ingat belajar di rumah. Terus kalo ada yang tidak bisa kita kerjakan, kan kita jadi bisa baca lagi materinya,” ujar Vita.


Yohana, seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya membimbing anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, menyetujui pentingnya pemberian PR bagi anak. Menurutnya PR menjadi salah satu sarana yang digunakan untuk membuat anak mau belajar dan berkembang. “Ya memang ada banyak orang tua saat ini yang justru malah mengerjakan tugas anaknya, atau bahkan membiarkan anaknya mengcopy paste jawaban semata. Ini hal yang salah. Kalau saya, memang membantu tapi lebih ke membimbing anaknya saja,” ungkap Yohana.


Wanita paruh baya yang dulunya sempat menjadi seorang guru SMA ini juga menyebutkan, pemberian PR bagi siswa dimaksud agar siswa bisa lebih mengeksplor dirinya untuk berkembang. Namun hal ini tidak bisa lepas dari bimbingan guru dan orang tua yang tepat. “Setiap anak kan punya karakter yang berbeda-beda. Ada yang tanpa disuruh pun sudah dengan rajinnya belajar. Tapi juga ada yang sebaliknya. Jadi sebagai guru dan orang tua, harusnya bisa membaca karakter anak sehingga tahu penanganan yang tepat. PR itu penting dan bagus, tinggal bagaimana orangtua dan guru dalam membimbing dan mengarahkan.”(Intan)







Editor : Akhsan


3 views0 comments

Comentários


Post: Blog2_Post
bottom of page