Arah Media - Seluruh masyarakat Indonesia tengah berusaha untuk menahan laju penularan Covid-19, tak terkecuali instansi perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Salah satunya dengan cara memperpanjang sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) hingga berakhirnya semester genap tahun ajaran dan akademik 2020/2021 mendatang.
Nampaknya, keputusan tersebut harus diterima dengan lapang dada oleh mahasiswa yang sebenarnya mengharapkan adanya pembelajaran tatap muka. Selain bosan, selama menjalani kuliah daring, beberapa mahasiswa mengeluhkan tugas yang diberikan dosen terlalu banyak. Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan Kota Bandung, Bambang melakukan survei mengenai PJJ terhadap 7000 guru pada periode April hingga Juli 2020, 91,8 persen dari mereka memberikan tugas, dikutip dari republika.co.
Sudah jatuh tertimpa tangga, selain tugas menumpuk, proses pengerjaanya pun terbilang sulit karena keterbatasan ruang gerak untuk mengeksplor hal-hal di sekitar mereka. Ada beberapa tugas yang memaksa mahasiswa untuk keluar rumah, namun susah mendapat izin dari orang tua.
“Aku buat keluar rumah susah, dulu sih dijatah per minggu boleh 2 kali keluar. Tetapi sekarang karena tetangga depan terpapar Covid-19, orang tua semakin ga bolehin. Padahal tugasku suruh moto peristiwa yang ada nilai beritanya,” keluh Malwa Hazwani, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta. Namun, mahasiswa semester lima itu bersyukur pasalnya dosen pengampu mata kuliah yang ia ikuti bisa memaklumi kondisinya.
Herlambang Jati, Dosen Fotografi Jurnalistik mengatakan, sebisa mungkin tidak ingin memberatkan mahasiswanya. Jika memang dilarang oleh orang tua, ia akan coba carikan alternatif tugas, misalnya dengan memotret kegiatan menonton TV di rumah. Pria yang juga menyambi sebagai wartawan itu menambahkan, tugas yang ia berikan pada tahun ini lebih ringan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Saya harap dengan kelonggaran tugas ini bisa dimaksimalkan oleh mahasiswa sehingga hasil fotonya tidak kalah bagus dari tahun-tahun sebelumnya,” harapnya.
Sayangnya, tidak semua dosen bisa mengerti kondisi mahasiswanya. Apalagi di tengah pembelajaran secara virtual ini, tingkat kepercayaan dosen terhadap mahasiswa lebih rendah jika dibandingkan saat tatap muka. Peluang plagiarisme yang dilakukan mahasiswa tinggi, itu menjadi salah satu alasan para dosen memberi tugas lebih berat.
Salsha Aurellia misalnya, mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) yang diminta untuk menuliskan jawaban tugas di kertas folio bergaris kemudian dipindai untuk dikirimkan pada dosen. “Kalau satu, dua kali mungkin aku masih bisa sabar, ya, tapi ini hampir semua mata kuliah kaya gini, ga main-main yang aku tulis itu pasal-pasal dan berlembar-lembar,” keluh mahasiswa Hukum tersebut.
Ia dan teman-teman sekelasnya sudah meminta keringanan pada dosen pengampu mata kuliah tersebut. Namun hasilnya nihil, sang dosen malah mengancam mereka jika tidak mengikuti peraturan yang sudah dibuat. “Kalau gitu, mau gimana lagi, daripada dapet nilai E, ya udah, pelan-pelan dikerjain, tapi kalau aku capek banget kadang suka minta tolong adekku buat bantuin nulis,” serunya sambil tertawa kecil.
Pembelajaran daring ternyata bukan win-win solution bagi seluruh pihak. Nyatanya, banyak beberapa mahasiswa yang mengeluhkan kesulitan yang dihadapi lebih kompleks dalam menggugurkan tugas-tugas yang diberikan dosen. Inovasi penugasan terhadap mahasiswa perlu dikaji ulang oleh para dosen supaya tidak terlalu memberatkan. Sebab, tidak semua tugas daring bisa dikerjakan secara luring. Keterbukaan antara dosen dan mahasiswa juga tak kalah penting, selama mahasiswa berbicara dengan sopan, meminta negosiasi kepada dosen tak jadi masalah. Bagi readers yang juga bernasib sama, coba lakukan hal ini, semoga berhasil.(Ilma)
Editor : Intan
Comments