Arah Media -Tudingan bahwa masih banyak penerima Bidikmisi yang tidak tepat sasaran sudah menjadi topik umum bagi sebagian besar mahasiswa, baik mahasiswa Bidikmisi itu sendiri maupun mahasiswa reguler. Setiap tahun, tudingan-tudingan semacam ini terus bergulir tanpa diketahui dari mana awal mulanya. Sejak awal kelahirannya pada 2010 silam, selain keterlambatan pencairan, masalah yang paling sering dikorelasikan dengan Bidikmisi adalah salah sasaran. Banyak tudingan miring yang menyatakan bahwa beberapa mahasiswa tidak pantas menjadi peserta Bidikmisi, karena dianggap mampu secara finansial.
Beberapa mahasiswa reguler pun membenarkan hal tersebut. “Aku ngerasa kalo Bidikmisi yang nggak tepat sasaran tu memang ada. Beberapa anak Bidikmisi kenalanku, gaya hidupnya jauh lebih glamor dibanding aku, kayaknya mereka nggak layak dapat Bidikmisi,” keluh Muhammad Syarif Azka, mahasiswa Ilmu Komunikasi, UPN “Veteran” Yogyakarta.
Senada dengan Azka, mahasiswa Ilmu Komunikasi, UPN “Veteran” Yogyakarta lain, Hasan Abdurrahman Sindutomo, juga mengungkapkan hal serupa. “Ada tuh anak Bidikmisi yang hampir tiap hari bikin story Instagram lagi di kafe mewah, gitu. Aku aja yang reguler belum tentu sebulan sekali nongkrong di kafe mewah,” ungkap Hasan dengan nada kesal.
Bahkan, beberapa mahasiswa reguler lainnya mengaku pernah melihat sendiri temannya melakukan kecurangan demi mendapatkan Bidikmisi, seperti memangkas nominal gaji orang tua dan memalsukan tempat tinggalnya. “Temanku ada yang ngefoto rumah tetangganya yang lebih reyot supaya nggak kelihatan mewah,” ujar Fachri Ernanda Ramadhan, rekan sejurusan Azka dan Hasan.
Isu panas mengenai Bidikmisi yang tidak tepat sasaran memang sudah bergulir dari tahun ke tahun. Hal ini tentu saja membuat tidak nyaman mahasiswa penerima Bidikmisi yang memang benar-benar membutuhkan dana tersebut.
Salah satu penerima Bidikmisi UPN “Veteran” Yogyakarta dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Ahmad Maulana Akbar, mengutarakan pendapat yang berbeda. Mahasiswa yang juga berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi itu berpendapat, apabila terdapat tudingan bahwa Bidikmisi salah sasaran, maka performa tim survei Bidikmisi-lah yang patut menjadi perhatian. Lanjutnya, memang ada kemungkinan mahasiswa calon penerima Bidikmisi yang memalsukan datanya, namun, apabila tim survei bekerja dengan baik, maka peserta yang kedapatan memalsukan data tersebut dapat didiskualifikasi.
“Mungkin memang ada mahasiswa Bidikmisi yang memalsukan data dan bergaya hidup terlalu mewah, tapi kan nggak banyak, kan. Kita nggak bisa sembarangan menghakimi, to. Mungkin saja, mereka yang bergaya hidup mewah itu, dapat uang dari kerja part time atau hasil menabung,” kata Lana, panggilan akrabnya.
Lana menyadari bahwa memang ada beberapa mahasiswa yang sebenarnya kurang layak menerima Bidikmisi, namun hal tersebut tidak serta merta membuat seluruh penerima Bidikmisi menjadi kurang layak juga. Ia menambahkan, program Bidikmisi sudah banyak membantu mahasiswa yang kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan. Maka dari itu, sebaiknya program ini dipertahankan dan diperbaiki. Jangan sampai program Bidikmisi ditiadakan hanya karena isu salah sasaran.
“Aku, sebagai salah satu penerima Bidikmisi, tidak tutup mata mengenai Bidikmisi yang salah sasaran. Namun, nggak semuanya salah sasaran, ada yang memang beneran membutuhkan. Maka dari itu, aku berharap, program ini harus diperbaiki, seperti kinerja tim surveinya supaya mahasiswa yang salah sasaran itu bisa diminimalisir hingga pencairan dananya yang sering terlambat,” tutup Lana.(Akhsan)
Editor : Intan
Comments