top of page
  • Writer's picturemedia arah

Kisah Mahasiswa Rantau Relakan Karantina Tanpa Keluarga Demi Sinyal

Updated: Dec 6, 2020


Komik : Naila

Arah Media - Kini masyarakat lebih leluasa untuk beraktivitas di luar rumah, namun anjuran pemerintah untuk tetap berkarantina di rumah harus selalu dipatuhi. Tidak lain dalam rangka upaya pencegahan adanya klaster baru Covid-19. Apalagi baru-baru ini angka terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai rekor baru. Bagi sebagian orang, corona mendatangkan kebahagiaan tersendiri, karena waktu berkumpul bersama keluarga menjadi lebih banyak. Namun, tidak demikian bagi para mahasiswa rantau yang rumahnya di daerah pelosok. Selain ketakutan membawa penyakit bagi keluarga di rumah, kegelisahan akan kekuatan sinyal juga menjadi pertimbangan. Anisha Ashshofa Rafli misalnya, mahasiswa asal Jambi yang berkuliah di UPN “Veteran” Yogyakarta, merasakan betul susahnya sinyal di daerah pelosok. Pada awal pandemi lalu, ia sempat memutuskan untuk kembali ke rumahnya di Jambi. Ocha, begitu panggilan akrabnya, ia merasa senang setelah dua tahun tidak bertemu dengan keluarga. Pada tahun 2020 ini, ia bisa merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarga kecilnya. Namun, hal itu hanya bertahan dua bulan saja. Pasca lebaran usai, ia kembali ke Yogyakarta. Tidak lain dan tidak bukan, urusan sinyal dan ketersediaan listrik menjadi alasan utama kembali lagi ke Kota Gudeg ini. Ocha bercerita jika rumahnya di Jambi cukup jauh dari pusat kota, butuh waktu sekitar 4 jam untuk menuju kesana. Ia berkeluh bahwa kampungnya, dalam seminggu, bisa terjadi pemadaman listrik 3 hingga 4 kali. Ia harus bertahan dengan sisa-sisa baterai laptop dan gawainya demi mendengarkan penjelasan dosen yang tak kunjung usai. “Sesekali, ayahku memasang genset, tetapi itu buat kebutuhan pokok kayak masak dan mandi, belum ada anggaran untuk kuliah,” jelasnya sambil tertawa kecil. Selain banyak mata kuliah yang terlewati karena kehabisan baterai, sinyal pun datang dan pergi. “Di rumahku itu ada WiFi, cuman sama aja kalau ga ada sinyal, udah bertahun-tahun cuma majang di dekat telpon, ga tau itu dibayar apa engga sama ayah,” serunya sambil tertawa. Akhirnya, ia memutuskan untuk membeli kuota internet, itu pun tidak bisa sembarang provider, sebab hanya provider tertentu saja yang dapat menunjang perkuliahannya. Berbeda dengan Ocha, nasib lebih beruntung dialami Maria Antonia Koliwaen Hayon yang berasal dari Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sinyal di rumahnya cukup stabil karena berada di tengah kota. Namun, jika hujan turun, butuh usaha lebih untuk mendapatkan sinyal. “Tetapi aku bersyukur tinggal di kota, soalnya kalo aku pulang ke kampung bapakku, di sana kalau listrik padam semua sinyal ikutan hilang. Kalau mau dapat sinyal lagi, paling tidak harus naik ke bukit,” ujarnya. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, apalagi musim penghujan akan datang, gadis yang akrab disapa Intan ini pun memutuskan untuk berkarantina diri di kosnya. Sesekali, ia menabung rindu akan kehadiran keluarga karena terakhir bertemu saat liburan semester satu. Terlepas dari sinyal, sebenarnya banyak pertimbangan lain, Intan juga perlu berpikir dua kali untuk pulang ke daerahnya, mengingat harga tiketnya yang cukup mahal. Sebagai anak rantau, untuk memutuskan kuliah ke tempat yang jauh memang bukan hal mudah, sebab tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan orang tuanya.“Selain ga kesusahan sinyal, kalau di kos kan ada WiFi. Jadi, bisa menghemat biaya juga,” tambahnya. Dari yang sudah-sudah, ketertinggalan teknologi menjadi persoalan yang tak kunjung usai di Indonesia. Apalagi semenjak diberlakukannya sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), seakan pemerintah baru melek bahwa banyak wilayah yang belum terkoneksi dengan internet. Kebijakan yang berlaku bagi sistem pendidikan di tengah pandemi ini tidak sebanding dengan fasilitas yang tersedia. Masih banyak PR yang harus diselesaikan dan dibahas lebih lanjut demi keberlangsungan proses belajar para peserta didik.(Ilma) Editor : Intan

4 views0 comments

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page