Arah Media - Kemajuan teknologi Artificial Intelligence (AI) membuat banyak pekerjaan yang saat ini dikerjakan manusia bisa digantikan oleh mesin. Namun demikian, dalam jangka panjang tidak ada pekerjaan yang benar-benar aman dari otomatisasi. Pasalnya, secanggih apapun teknologi yang diciptakan untuk mempermudah ataupun berusaha menggantikan pekerjaan manusia, masih ada celah yang bisa kita temukan.
Misalnya, ketika kita membidik sebuah objek melalui lensa kamera. Jika kita perhatikan dengan seksama, apa yang kita lihat dengan mata telanjang dan bidikan dari kamera itu berbeda. Sekalipun sudah memperhatikan triangle exposure (segitiga pencahayaan meliputi ISO, shutter speed, dan aperture untuk mengatur intensitas cahaya sehingga menghasilkan gambar yang bagus dan baik), namun tetap saja hasilnya tak semaksimal yang dilihat mata manusia.
Sama halnya dengan Plagiarism Checker, sebuah aplikasi khusus yang secara otomatis mampu memindai segala bentuk tulisan yang mengandung plagiarisme. Beberapa dosen di Pulau Jawa rata-rata menggunakan mesin pemindai plagiarisme otomatis tersebut untuk menunjang pengecekan baik tugas maupun skripsi mahasiswanya. Meski begitu, tidak selamanya hasil pemindaian tersebut benar adanya. Kami menerima beberapa keluhan dari beberapa mahasiswa yang berkuliah di Yogyakarta, kerap kali mereka harus mengkonfirmasi ulang dengan dosen terkait hasil aplikasi ini.
Betrica Putri, mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta menuturkan, harus rajin-rajin untuk menghubungi dosen, sebab kadang persentase plagiasi dosen itu tidak valid. Ia mengeluhkan jika pada UTS yang lalu persentase plagiarismenya cukup tinggi. Ternyata setelah dikonfirmasi dengan dosennya, salah satu penyebab mencapai angka yang tinggi karena ia menuliskan ulang pertanyaan ujian tersebut. Hal itu mendorong dirinya untuk melakukan negosiasi dengan dosen, beruntungnya bisa dikurangi angka persentasenya.
“Ada satu kalimat itu, kan, emang aku dapet infonya dari internet, niatku di awal buat ngasih penjelasan. Dan emang infonya cuma ada di internet tentang CSR (Corporate Social Responsibility--red) perusahaan. Rupanya malah keikut juga, katanya kalo itu ga bisa dikurangi,” terangnya. Namun, Betarica tetap bersyukur karena dosen pengampunya mau melakukan transparansi dengan mahasiswa. Ia juga menambahkan bahwa tidak semua dosen mau menerima kritik atau aduan dari mahasiswa, khususnya dosen-dosen tua yang jarang mau direpotkan dengan hal-hal seperti itu.
Seperti yang dialami Rizki Fatin, mahasiswa Pertanian, Universitas Gadjah Mada, ia sempat ingin mengkonfirmasi kepada dosen karena dorongan temannya. Namun, mustahil saja, justru ia malah dimarahi habis-habisan oleh sang dosen. Ia bercerita bahwa apa yang ia kutip dari internet adalah kumpulan teori, maka persentase plagiatnya cukup tinggi. “Ya udahlah daripada berurusan panjang lebar gini jadi ya diterima-terimain aja,” kata perempuan bertubuh mungil itu.
Meski begitu tidak semua dosen mempercayai seratus persen mesin pemindai plagiarisme ini. Virginia Ayu Sagita, Asisten Dosen Ilmu Komunikasi yang diamanahi oleh salah satu dosen seniornya untuk mengecek tugas dan ujian para mahasiswa menggunakan aplikasi ini. Selama ini ia menggunakan software Turnitin. Melalui aplikasi ini, ia bisa melihat hasil persentase plagiarisme. Selain itu, juga bisa melihat sumbernya secara langsung yang di-copy oleh mahasiswa, bahkan letak detailnya sekalipun.
Virgin, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa plagiat hanya salah satu kriteria penilaian dan masih ada beberapa pertimbangan lainnya. “Kalau untuk penilaian, saya mempertimbangkan ketika nilai plagiat di atas 30%, itu salah satu cara agar mahasiswa bisa mengerjakan tugas, UTS, UAS, atau skripsi nantinya bisa seoriginal mungkin. Meskipun plagiat 0% kalau jawaban tidak menjawab soal, ya, tetap saja nilai sesuai jawaban mahasiswa, jadi bukan berarti plagiat 0% bisa mendapatkan nilai A,” tambahnya.(Ilma)
Editor : Intan
Comments