Arah Media – Kehidupan masyarakat sepanjang pandemi Covid-19 mengalami banyak perubahan di berbagai aspek. Kebijakan protokol kesehatan menuntut mereka untuk melakukan segala aktivitasnya di rumah. Teknologi berperan penting untuk menunjang berbagai kegiatan manusia. Khususnya dalam dunia pendidikan yang melangsungkan proses pembelajaran dengan sistem jarak jauh.
Semenjak Presiden Jokowi menyatakan bahwa ada 2 warga indonesia yang yang positif terkena Covid-19 pada Selasa (2/3/2020) lalu. Kemudian disusul pada (15/3/2020) pemerintah menerapkan kebijakan social distancing atau menjaga jarak antara satu dengan yang lain menjadi hal penting yang harus dilakukan masyarakat. Hal itu mendorong beberapa pemimpin daerah untuk melakukan karantina wilayah.
Menanggapi putusan tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Makarim mengapresiasi langkah proaktif yang dilakukan sejumlah pemimpin daerah demi mencegah penyebaran virus corona lebih meluas. Ia pun akhirnya memutuskan untuk proses belajar dan mengajar dilakukan di rumah masing-masing. Tentunya hal itu dilakukan dalam rangka keamanan dan keselamatan baik peserta didik maupun tenaga kependidikan.
Sontak kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tersebut membuat beberapa tenaga pendidik kewalahan. Disaat itulah para pengajar di Indonesia dituntut untuk menyiapkan pembelajaran secara daring dalam waktu yang singkat. Persoalan datang ketika diantara mereka gagap teknologi (gaptek) dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi dengan aplikasi e-learning. Tak jarang dari mereka yang meminta anaknya untuk dibimbing mengoperasikan aplikasi elektronik tersebut.
Salah satu anak tersebut adalah saya, Ayah saya adalah seorang dosen di Politeknik Transportasi Darat Indonesia-STTD. Wido, begitu panggilannya, Selain menjadi dosen ia adalah kaum PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad). Saya dan Ibu di Yogyakarta sementara ia di Bekasi yang selalu mengusahakan pulang diakhir pekan. Pasca putusan kampusnya untuk mengadakan pembelajaran secara daring, ia segera memesan tiket pulang ke Yogykarta.
Tidak perlu meminta tolong pada saya lagi, saya sudah tau maksud kedatangan ayah ke Yogyakarta. Saya tahu betul bagaimana gapteknya dia, bahkan jauh sebelum corona beberapa soal ujian saya yang ambil alih. Pria kelahiran 1958 ini merampungkan pendidikan ditemani mesin ketik tua, maka saya sangat bisa memaklumi kegaptekkannya itu.
Pada minggu pertama perkuliahan daring, saya cukup sabar mengajari ayah saya. Mulai dari mengunggah materi, membuat kolom presensi, dan membuat room pada video konferensi. Perlahan ia mulai bisa mengoperasikan google class room dan skype meski sesekali ia memanggil saya karena lupa caranya.
Dua minggu berlalu, tugas kuliah saya pun semakin menumpuk sehingga saya sedikit kesusahan untuk membantu ayah. Suatu ketika saya sedang disuruh ibu untuk membeli perlengkapan rumah yang mulai menipis. Saat melihat layar handphone ada 4 panggilan masuk dari ayah, saya menyuruhnya untuk video call namun ia tidak bisa. Dengan terpaksa saya segera menuju ke kasir dan pulang ke rumah. Sejak saat itu saya memutuskan untuk membuat video tutorial mengoperasikan google class room dan skype.
Tak hanya saya, Fatih seorang mahasiswa UNS juga memiliki pengalaman yang tak jauh berbeda. Pada awal PJJ jadi tantangan tersendiri baginya sebab hampir dalam seminggu ia harus bangun pagi untuk mengajari ibunya membuat room video konferensi. “Saya ambil alih ajalah, daripada beliau kebanyakan tanya saya malah pusing sendiri,” ujarnya.
Fatih juga bercerita, pernah tidak sengaja sedang mengajari ibunya memakai aplikasi zoom, lupa menekan tombol mute audio. Sehingga, percakapan dengan ibunya itu terdengar baik oleh audiens dalam room zoom tersebut. Sementara tidak ada yang mengingatkan hal itu, sehingga percakapan panjang sekitar 1 menit berlangsung lancar. Alih-alih diberi ucapan terimakasih, Fatih justru tambah dimarahi ibunya karena kebocoran suara tersebut. Umi Baroroh, Dosen UIN Yogyakarta yang punya citra tegas dan cukup killer bagi para mahasiswa, ternyata di rumah cukup humoris.
Selama masa pandemi covid-19 ini seolah membuka sejauh mana kemampuan tenaga pendidik melek teknologi. Hasilnya bagi mereka yang gaptek menjadi penghambat dan permasalahan terbesar yang dihadapinya selama PJJ ini. Tidak hanya Wido dan Baroroh saja yang gagap teknologi mungkin masih banyak di luar sana yang juga merasakan hal yang sama. Mungkin hal ini bisa menjadi perhatian lebih bagi para instansi yang bersangkutan sehingga baik pengajar dan yang diajar juga tetap melakukan pembelajaran secara lancar.(Ilma)
Editor : Intan
Comments